Langsung ke konten utama

[Ulasan Buku] The Wrath and the Dawn #2: The Rose and the Dagger



Sumber gambar: goodreads.com
Judul: The Rose and the Dagger
Penulis: Renee Ahdieh
Penerbit: Penerbit Pop
Penerjemah: Mustika
Terbit: September 2016


“Semakin gelap langit, semakin terang bintang-bintangnya.”


The Rose and the Dagger adalah buku kedua sekaligus terakhir dari duologi The Wrath and the Dawn. Merupakan retelling dari Kisah 1001 Malam (yang sebenarnya tidak terlalu bisa dibilang begitu, menurutku) yang cukup menarik para pembaca fantasi. Rating-nya cukup tinggi di Goodreads, tapi ada pula review negatif.
Bagiku pribadi, seri ini tidak terlalu megah. Tidak terlalu wah. Dan merupakan salah satu yang overrated.
Tidak jelek, tapi juga tidak menakjubkan.
Beberapa bagian juga terasa kurang, seperti plot yang terlalu datar serta karakterisasi yang goyah.

Di seri ini, seorang raja muda Khorasan, Khalid, dikenal sebagai monster. Karena dia menikahi satu perempuan rakyatnya, tiap malam, untuk membunuhnya pada keesokan fajar.
Shahrzad yang ingin membalaskan dendam sahabatnya, mengajukan diri.
Namun, dia jatuh hati.
Dan perlahan, rahasia terkuak. Khalid tidaklah seperti yang orang-orang kira.

Di TRATD, Rey, ibukota Khorasan, hancur diterjang petir dahsyat. Shazi harus terpisah dari Khalid demi keselamatannya. Dia bergabung dengan adik serta ayahnya dan Tariq, cinta pertamanya, di perkemahan Badawi. Orang-orang menyatukan kekuatan untuk menyerang Rey.
Shazi tidak bisa diam. Dia harus menghentikan perang dan mengurai kutukan Khalid.
***

Plot The Rose and the Dagger bisa dikatakan main aman.
Namun, sebagai penyelamat, ada satu titik sedikit setelah tengah buku (serta menuju akhir—sesuatu yang agak lebih besar).

Di bagian paruh pertama, kejadiannya terlalu umum; apa yang bisa kita lihat sehari-hari atau dari berita, bukan hal yang baru atau magis selayaknya dalam buku fantasi. Tampaknya, tak akan menarik perhatian (atau membuat simpati) juga jika hal seperti itu  muncul di novel kontemporer.

Di sisi lain, seperti buku pertama, TRATD hangat dan cantik. Pembangunan karakternya cukup baik (tapi tidak seluruhnya. Beberapa tokoh pendukung-yang-penting pernah bersikap terlalu mengejutkan). Dan soal emosi, lumayan tersampaikan.

Mendekati akhir, saat seseorang sekarat, aku seperti “Uh, oh, apakah benar dia mati? Yakin? Tidak hidup kembali?”. Bagaimanapun, aku merasa seri TWATD ini cantik-lembut, jadi aku tidak mengira hal semacam itu....

Pemilihan Ahdieh terhadap beberapa tokoh yang mati di sini agak ... aneh. Seperti dia memaksakan beberapa kematian yang tidak perlu dan masih ada yang lebih pantas mati tapi tidak.


“Potong talinya, Shazi. Terbanglah.”