Langsung ke konten utama

[Ulasan Buku] Lucian



Sumber gambar: goodreads.com
Judul: Lucian
Pengarang: Isabel Abedi
Alih bahasa: Eleonora Bergita, Husni Pratama
Penerbit: Elex Media
Tahun terbit: 2012 (pertama terbit: 2009 di Arena Verlag)
Jumlah halaman: 560


Ini pertama kalinya aku baca novel terjemahan dari bahasa Jerman.
Paruh awalnya berlatar di Hamburg, pula. Ulala.

Rebecca Wolff, 16 tahun, tinggal bersama ibu dan pacar ibunya. Bersahabat dengan Suse dan berteman (lumayan) baik dengan Sebastian; mantan pacar. Suatu malam, Becca melihat sesosok cowok berdiri dekat tiang lampu, memandangi jendela kamarnya. Kemudian, mereka kerap bertemu secara tak sengaja.

Ketika melihat cowok itu—yang sama tinggi dengan Becca, wajah tirus, berambut hitam tebal dengan sebagian jatuh ke dahi, mata biru nyaris hitam—Becca merasa ketenangan membanjirinya. Bahkan, sebelum melihat, sebelum tahu cowok itu berada di dekatnya, Becca tahu. Perasaannya menghangat dan sebagainya.


“Aku menyukaimu. Kalau kau ada di dekatku, aku merasa nyaman.”


Akhirnya, mereka mulai saling bicara. Cowok ini tidak tahu siapa diri-nya. Tidak tahu namanya (minta Becca memberi nama, diberi Lucian). Lupa ingatan, pokoknya. Dan, ada beberapa keanehan lain yang membuat mereka bertanya-tanya. Salah satunya, Lucian banyak memimpikan soal Becca, kemudian hal itu sungguhan terjadi. Becca juga sering bermimpi mengenai kematian dirinya.

Perasaan yang timbul di antara keduanya tergolong insta-love, ya. Namun, tidak juga. Karena..., perasaan itu tidak benar-benar timbul. Seolah itu alami. Mereka mengalami ketertarikan yang kuat. Lucian sempat beberapa kali menghilang, kemudian mereka sadar mereka tak bisa dan tak boleh terpisahkan.


“Gila memang, tapi aku benar-benar bisa merasakan apa yang dirasakannya.”



Secara keseluruhan, aku menikmati membaca kisah Rebecca dan Lucian serta cerita karakter lain di sini. Bagaimana hubungan Becca dengan Mama Janne, Spatz, ayah yang tidak tinggal dengannya, sahabat, mantan pacar.... Walaupun, ya, pada beberapa bagian minta dibaca cepat karena bisa dibilang out of topic. Terlalu menjelaskan latar belakang dan dalam paragraf panjang serta banyak.

Sudut pandang orang pertama dari Becca bisa dibilang berhasil. Sampai kita ikut merasakan sebalnya dia pada Mama Janne (dia [sempat] benci, sih). Yah, orangtua mungkin kerap (berusaha) melindungi anak mereka dengan cara yang menurut mereka benar, tapi belum tentu benar.
Kita juga bisa merasakan kehangatan antara Becca dan Lucian. Meskipun terkesan insta-love, kita menunggu-nunggu kapan Becca dan Lucian tak sengaja bertemu lagi.

Pembaca tahu Lucian itu siapa saat tokoh-tokohnya (termasuk Lucian) masih berusaha menerka.
(Lihat saja sampul dan blurb-nya. Yang paling jelas kutipan di pembatas bukunya....)
Namun, itu tidak mengganggu proses baca.

Kira-kira di tengah buku, memasuki “bagian dua”. Bagian itu berisi email-email yang ditujukan ke Rebecca. Dalam dua bulan lebih. Dan tidak dibuka-buka oleh Becca selama itu juga. Dari Mama Janne, ayahnya, Suse, Spatz, Sebastian, bahkan Dimo (yang pernah dekat dengan Suse), oh, dan bahkan rekannya mengerjakan tugas.
Bagian ini adalah setelah peristiwa besar. Menimbulkan kesedihan yang teramat sangat bagi Becca. Yah, tebak saja, hehe. Membuat Becca menutup diri dari orang-orang sekitar selama itu. (Ayahnya pun kirim email, kan. :( Padahal tinggalnya.... :( )

“Jangan perlakukan kami seperti ini. Bicaralah pada kami. Makanlah. Bukalah pintumu dalam arti yang sebenarnya.”

Walaupun hanya menampilkan email, kita tetap bisa merasakan hancurnya Rebecca (serta sedihnya orang-orang karena sikap Becca). Dapat dikatakan itu pilihan yang cukup bagus dari Abedi. Karena, toh, rasa sedih Becca sudah banyak ditunjukkan sebelumnya (saat mencari Lucian berhari-hari dan itu lebih dari satu waktu).

Buku ini memiliki kejutan-kejutan (besar dan kecil) yang cukup berpengaruh pada cerita. Penyuguhannya menarik. Misalnya, hubungan si kritikus pedas dengan Ambrose Lovell. Juga, Mama Janne yang psiklog itu ternyata....
(Oh, omong-omong, sampai dua pertiga buku kukira Lovell itu penulis “betulan” [di dunia nonfiksi, gitu]. Kukira juga wanita.)
Pembaca tahu, sejak di bagian awal, Tyger, guru bahasa Inggris Rebecca, pasti bukanlah manusia biasa. Ketika “diberi tahu” Abedi, tetap terasa mengejutkan (yah, karena ... piiip) dan bagusnya memang punya peranan dalam cerita.

Ending-nya ... kurang panjang.... Tapi, kalau dipanjangkan nanti tipe ending-nya bisa berubah....

Kalau soal terjemahan dan editan, beberapa kali ditemui kata yang terasa kurang pas pada konteksnya. Diartikan secara kurang tepat. (Tidak banyak)
 Ada pula kata yang jelas hilang atau kurang. (Tidak banyak)
Kadang, Becca dipanggil Serigala Kecil oleh orangtuanya. Kadang pula Little Wolf. Apakah “Serigala Kecil” itu menerjemahkan dari bahasa Jerman? Ataukah tidak konsisten penerjemah atau editornya?
Beberapa kali juga ditemui nama Alan, Allan, Michelle, Michele. Hm.... (Tunggu. Seingatku memang ada Alan dan Allan dan yang benar adalah Alan. Tapi, Alan siapa? Tadi lihat email ayah Becca, namanya Alec....)

Aku paling senang saat Becca sadar Lucian ada di mana. Lucian mencarinya ke mana.

“Ia memandang ke danau.
Tetapi aku tahu, ia merasakan kehadiranku.
Dan ketika aku melangkah di dermaga, ia berbalik ke arahku.”