Langsung ke konten utama

[Perjalanan] Tahura Djuanda




Sudah lama ingin ke Taman Hutan Raya Djuanda (atau Taman Hutan Rakyat?—aku pernah melihat tulisan itu). Alhamdulillah, terlaksana!

Hari itu hari kerja dan sedang sering hujan. Beruntung, ketika sampai sana, hanya tersisa hujan kecil. Setelah beberapa waktu berpayung, hujan akhirnya berhenti.
Kami masuk dari Pintu Dago 2 (setelah kelewatan Pintu Dago 1. Tapi kata pak sopir, kalau jalan kaki lebih dekat juga dari Pintu 2). Selain itu ada pintu ketiga, dari Maribaya.

Di pintu masuk, ada pos penjaga tempat beli tiket.
Pertama, kami ke Gua Jepang. Di dalam hawanya dingin, seperti ruang bawah tanah.... Gelap juga. Jika tak bawa senter, bisa sewa dari bapak-bapak yang menunggu di pintu gua. Guanya cukup besar, lorongnya banyak dan beberapa berakhir buntu serta banyak ceruk entah bekas untuk apa.

Kemudian, kami ke Gua Belanda. Jika di gua sebelumnya jalan berbatu, di sini bersemen rata. Di lorong tengah terdapat jalur (sepertinya) bekas rel kereta kecil. Lorong-lorong di sini lebih teratur dan agak lebih banyak cahaya (karena banyak pintu). Sama, di sini juga bisa sewa senter.

Selanjutnya, kami menikmati taman hutan yang asri, penuh pohon tinggi besar hijau, udara sejuk, ditemani suara-suara hewan liar (burung). Dengan kata lain, kami berjalan kaki cukup lama dan cukup jauh. Sepanjang jalan kerap ditemui tempat becek dan area licin (karena habis hujan). Jalan yang dari paving block itu pun beberapa batunya ada yang sudah lepas (jalan dengan lebar sekitar satu setengah meter ini juga dilalui ojek motor). Beberapa kali juga ada jalan yang menanjak (ada yang tanjakannya terasa sangat lama dan jauh). Tapi tenang, tempat-tempat istirahat tersebar, kok.


Kami akhirnya sampai di Penangkaran Rusa. Sebelumnya lewat turbin air dulu dan penangkaran lebah. Rusanya berjumlah lumayan. Mereka juga sudah terlalu terbiasa menerima rumput dari pengunjung, jadi ketika ada yang datang, mereka bersemangat mendekat.

Sebetulnya, dari Gua Belanda tadi, kami ingin menuju Curug Koleang. Tapi, hingga dari tempat rusa dan berjalan lagi, kami tidak menemukannya. Ada jalan menyimpang lagi, ke Batu Batik (dan kalau tidak salah ke Curug Kidang juga), tapi karena sudah semakin sore, kami memutuskan berjalan terus. Akhirnya, sampai Curug Omas Maribaya (katanya ini curug terbesar di Tahura). Airnya memang deras sekali. Jembatan yang membentang di atasnya pun ditulisi: “Jembatan ini aman dilewati maksimal 5 orang”. Oh ya, di dekat sini ada pangkalan ojek yang siap menunggu untuk mengantar ke pintu datang tadi.

 
Sedikit di atas Curug Omas, ada area rumput lapang dan warung-warung. Ada pula mainan anak, tapi banyak yang rusak. Tersedia pula musola dan toilet. Warung di sana menyediakan makanan besar pula, nasi ayam dan lain-lain.

Untuk ke pintu Tahura, kami memutuskan naik ojek. Pertama, karena sudah pukul lima lebih. Kedua, mengingat jalan menanjak tadi serta beberapa licin, agak suram membayangkan kami berjalan menuruninya. Ketiga, akan makan waktu lama berjalan (sekitar 6 km).
Oh ya, waktu di ojek, kami sempat melihat para monyet, lho!

Jadi, jelas Tahura tempat tepat untuk menenangkan pikiran, menyejukkan hati, dan berdamai dengan diri.
Tapi, persiapan yang baik juga diperlukan. Pakailah pakaian nyaman serta sepatu yang enak dipakai jalan (dan tidak licin jika musim hujan). Kalau dirasa perlu, bawa senter. Bawa pula minuman dan camilan untuk menemani selama berjalan (ada juga beberapa warung di sepanjang jalan—tapi, siapa tahu tutup. Waktu aku ke sana memang tutup; hanya buka satu). Oh ya, senang-senanglah menawar dulu, ya (terutama ojek).
Selamat berbaur dengan alam!