Sumber gambar: goodreads.com
Judul: Tiger’s
Destiny (Tiger’s Curse #4)
Penulis: Colleen
Houck
Penerbit: Splinter
Terbit: Agustus 2015
(pertama terbit: 2012)
Jumlah halaman: 464
Di buku keempat Kelsey
melanjutkan perjalanannya membantu dua pangeran India masa lalu (mereka hidup
abadi) mematahkan kutukan. Kutukan itu membuat mereka dalam bentuk harimau (Ren
– harimau putih, Kishan – harimau hitam).
Seperti buku-buku pendahulu,
polanya adalah menerjemahkan prophecy,
melakukan riset, mendengarkan kuliah pengetahuan dari Mr. Kadam, bersiap,
memulai quest tersebut. Oh, itu
melingkupi ke kuil Durga, menyerahkan seserahan, si dewi muncul, lalu pelakon
cinta segitiga ini mulai jalan. (Omong-omong, di buku empat polanya agak tak
sama karena ada sesuatu yang menyedihkan terjadi pada....)
Sejak di buku tiga, Kelsey sudah
mengatakan dia memilih Kishan. Namun, that
sparkling thingy toward Ren masih di sana. Kita akan melihat mereka masih
dekat. Yang kadang mengganggu Kishan, kadang biasa saja. Di buku empat, Kishan
menunjukkan terlalu banyak perhatian pada Durga. Ew.
“Ren took my hand in consolation while my boyfriend made goo-goo eyes at the gorgeous goddess.” – Kelsey [monolog]
Secara garis besar, perjalanan quest mereka kali ini adalah:
ke gunung berapi; masuk ke
semacam perut Bumi; ke dunia api,
bertemu Phoenix (Sunset kemudian
Sunrise); Kelsey harus menghadapi perasaannya yang sesungguhnya,
lewat Cave of Sleep and Deaths
(kalau ketiduran di gua ini kita akan jadi zombie,
hik),
bermain sama Rakshasa; ada Qilin,
bertemu Lords of the Flame untuk minta Rope of Fire; battling,
menemui Chimera yang menjaga Rope
of Fire; growling and nuzzling,
pergi ke masa lalu dengan vortex buatan cemeti itu,
ada Anamika,
mempersiapkan tentara dan ikut ke
medan perang melawan Mahisashur alias Lokesh.
Such a long road, benar. Meliputi banyak rasa sakit, baik fisik
dari pertarungan dengan beragam makhluk, juga sakit hati karena hubungan yang
sulit antara mereka. Juga, dari beberapa kehilangan yang terjadi. Sedih.
Perasaan itu terbangun dengan baik. Situasinya ditulis dengan bagus.
“She’ll be yours of the rest of your life, brother. Let me hold her for now.” – Ren to Kishan, hlm. 262
Ada juga kalimat-kalimat bijak
yang langsung bikin mau mencatat.
“Live each day as if it was the last.” – Sunset to Kelsey, hlm. 166
“One day, if you make the most of it, can be more satisfactory than a lifetime squandered.” – Sunrise to Kelsey, hlm. 170
Oh, battle kecil maupun perang besar digambarkan dengan rapi dan sangat
visual. Pertarungannya terasa memang lebih berbahaya dari buku-buku sebelumnya.
Walaupun bagus di pembawaan
suasana, buku ini masih kurang dalam hal beberapa logika, plot hole, dan ada bagian yang terlalu
dipaksakan.
Namun, tetap, perjalanan para
harimau serta Kelsey memenuhi takdir mereka sungguh menyenangkan diikuti. (Yah, menyenangkan itu kalau mengabaikan rasa
sakit yang tiba-tiba menyerang ketika membaca dan merasa perlu berhenti
sebentar. Tapi kalau dipikir, itu salah satu poin besar buku ini.)
“We each have a purpose, a destiny, and to realize it, we must reach beyond what we think we are capable of.” – Kelsey to Anamika, hlm. 300