Wah! Ini dia! Rasanya sudah lama
aku tidak menulis resensi dalam bahasa Indonesia! Di goodreads.com/jacq9, aku (hampir selalu) menggunakan bahasa
Inggris. Bukan kenapa-kenapa, aku merasa perlu melatih bahasa itu. Aku tidak
punya teman yang kini berhubungan denganku dalam bahasa asing. Sama halnya di instagram.com/jacq789, resensi singkat
(serta hal lain) yang kutulis di sana berbahasa Inggris.
Jadi, aku bersemangat karena di
Jacq Daily aku akan terus berbahasa Indonesia.
Sumber gambar: goodreads.com
Judul: Take Off My
Red Shoes
Penulis: Nay Sharaya
Penerbit: Grasindo
Tanggal terbit: Juni 2015
Jumlah halaman: 240
Novel Take Off My Red Shoes
ditulis oleh mbak Nay Sharaya. Omong-omong, aku pernah bertemu mbak Nay di
acara klub baca.
Novel ini adalah salah satu dari
empat novel retelling dongeng yang
diterbitkan Grasindo 2015 lalu. Sebetulnya, aku tidak memiliki keempatnya pada
waktu terbit. Baru beberapa bulan lalu! Ya, aku sempat tiba-tiba keranjingan
novel retelling hingga harus menulis
alasan-kenapa-aku-tak-perlu-membeli-suatu-novel agar aku memutuskan tidak akan
membelinya. Dan, bukan hanya satu novel, lho.
Nah, tapi sebelum itu, aku telah
beli empat novel retelling dari
penulis lokal ini. Dan, sudah kubaca semua; yang terakhir si sepatu merah ini.
Kalau urut dari yang kubaca:
1. In
the Limelight – Valerie Aurellia; dari The Little Mermaid (H.C. Andersen)
2. Entangling
Game – Stefiani Emasurya; dari The Green Knight
3. The
Mirror Twins – Ida R. Yulia; dari Hansel and Gretel (Grimm Brothers)
4. Take
Off My Red Shoes – Nay Sharaya; dari The Red Shoes (H.C. Andersen).
Bisa dibilang, kisah-kisahnya
bukan penceritaan ulang dari dongeng bersangkutan. Sebagian besar isi bukunya
pun tidak. Lebih tepat dikatakan terinspirasi dari dongeng yang mendunia itu.
Omong-omong, aku juga baru-baru ini beli buku dongeng Andersen, berisi 41
cerita (yah, ada apa dengan Jacq dan dongeng ... serta retelling...?). Dan omong-omong soal mendunia, dongeng nomor 2 dan
4 memang tidak setenar lainnya (hingga kini aku belum baca kisah utuh The Green
Knight).
Wah, “pengantar” ulasan ini
panjang juga, ya?
Mari, mari, mulai mengulas Take
Off My Red Shoes.
Kisahnya diawali dengan suasana
panti asuhan, tempat kembar cewek Atha dan Alia. Kemudian mereka diadopsi oleh
keluarga yang melihat Alia mirip dengan almarhumah anak bungsu keluarga itu.
Atha tumbuh terasing di keluarganya sendiri. Dia juga punya obsesi pada warna merah, khususnya sepatu merah. Tokoh lain yang cukup penting, ada Ares si kakak serta Kegan tetangga seberang.
Atha tumbuh terasing di keluarganya sendiri. Dia juga punya obsesi pada warna merah, khususnya sepatu merah. Tokoh lain yang cukup penting, ada Ares si kakak serta Kegan tetangga seberang.
Aku agak terganggu dengan
kemunculan beberapa tokoh lain yang lumayan panjang penjelasannya (atau justru
dihindari dijelaskan), tapi tak jelas pentingnya. Namun, ketika konflik cerita
meninggi, dapat dipahami ternyata tokoh tersebut memang penting (bukan tokoh
selewat yang diperlakukan berlebihan).
Gaya penceritaannya ... kadang
narasi pemaparan kondisi atau kejadian masa lalu terlalu panjang. Dan mungkin
karena hal lain juga (termasuk hal pribadi), itu membuatku menyelesaikan buku
ini dalam waktu cukup lama.
Saat membaca, sempat aku
menginginkan twist lain—bahwa si
gadis sepatu merah; yang penuh celaka—adalah cewek lain. Ternyata tidak.
Seingatku juga aku pernah membaca resensi orang yang mengatakan jenis akhir
novel ini—happy atau sad—tapi, kok, ending-nya tidak begitu, ya.... Aku jadi wanti-wanti saja saat
membaca, eh, tak tahunya tidak seperti itu.
Yang paling mengena? Hubungan di
keluarga Ares-Alia-Atha ini. Miris. Oh, dan hangatnya perasaan Kegan....
Salah ketik? Ada, tentu. Penulis
dan editor, kan, bukan manusia sempurna.
Oh! Belum bilang! Sampul empat
novel ini cantik sekali!
Bicara soal retelling, yang paling membuatku sulit menahan diri untuk tak baca?
Tentu saja dari kisah Peter Pan! Hehehe.